It is Better if I Never Exist?

OOT: buat Riku & Tsu doang

-----------------

"Kamu monster! Sana pergi! Aib keluarga! Sama saja seperti bibimu yang pembunuh itu! Sampah!"

Kata-kata menyakitkan itu yang terus terngiang di kepalanya, padahal sudah 5 jam ia diusir dari rumah dan sekarang ia terdiam di depan gerbang. Angin dingin menusuk tulang dan kulit putihnya yang hanya ditutup oleh baju tanpa lengan, tapi ia tidak memedulikannya.
Padahal ia sudah sering mendengar caci maki dan fitnah seperti itu dari anggota keluarganya. Bahkan ibunya juga ikut menghinanya. Apa lebih baik ia tidak usah dilahirkan? Apa Tuhan membencinya karena memiliki kekuatan aneh?

Ya, memang aneh.. Mengubah tubuh menjadi apapun yang riku inginkan... menyeramkan seperti kekuatan aneh yang dimiliki bibinya dulu..

"Kenapa aku dilahirkan?" Riku terus menggumamkan kata-kata itu, tapi tidak ada setetes air mata pun yang mengalir di pipinya. Semua ditahannya. Ia sudah biasa, terbiasa, ini bukan apa-apa baginya. "Memang aku ini monster?" batinnya.
"Pantas saja aku dibenci.. Tanpa teman, kakak yang lebih baik, orang tua yang tidak mengharapkanku.. Apa aku mati saja?"

Riku mengubah rambut panjangnya menjadi kapak (2 handed axe) raksasa, agar tidak menyakitkan. Agar rasa sakit itu hilang bersama kependihan dan kehilangannya..
Ia mengarahkan kapaknya ke lehernya, siap menebas...

--------------

OOT: ngajak betel, mas ::

"Nga--ngantuk..." gumam Tsubasa pelan, terseok-seok di jalan.

DEG!

Tiba-tiba, ada sensasi tidak enak menekan dadanya, seperti biasa, tanda jika ada 'teman'. Mata Tsubasa yang nyaris tertutup langsung membuka, mencari sosok 'teman' tersebut.

"HENTIKAN!" hanya itu yang keluar dari mulut Tsubasa saat melihat seorang gadis mengarahkan kapak ke lehernya. Dunia serasa slow motion bagi Tsubasa.

"HENTIKAN!"

Suara anak laki-laki? Siapa? Teman? Sesama monster? Yang pasti itu terasa dalam batin Riku, ada reaksinya.
"Apa ia ingin menghentikanku? Untuk apa? Setan-kah dia hingga ingin aku hidup?" batinnya putus asa. Sudah.. Hentikan saja, tidak ada lagi yang mau menerimanya di dunia ini.. Hentikan saja sok memuji dan menghargai... memuakan.. Apa tidak ada tempat untuknya di dunia ini? Segila apakah ia hingga merasa ada orang yang menghentikannya untuk bunuh diri? Memangnya ia manusia yang diperbolehkan untuk tetap eksis di dunia ini? Memang siapa yang mau menjawab pertanyaan bodoh seperti itu? Tidak mungkin ada. Dia monster..
Inilah akhirnya, berhasilkah ia menebas kepalanya? Menebasnya bersama dengan kenangan pedihnya?

---------------

OOT: Dik, stop anak gw dengan cara apapun, plizzzz (PM kalah ma char sndiri nih :

Yeah.So.Damn.Annoying.I.Hate.This.But.My.Body.Moves.

Dengan cepat hitungan-hitungan ribet melintas di kepala Tsubasa. Okeh, dengan posisi ini, aku dapat memakai abilityku dan kapak itu tidak apa mengenai dirinya. Hanya di posisi itu.

Tsubasa berlari ke posisi yang sudah ia perhitungkan, lalu menjentikkan jarinya. Sret! Rambut kapak itu tertiup angin yang ia ciptakan. Namun karena kurang kalkulasi, kapan itu malah mengenai wajah Tsubasa. Darah mengalir dari pipi pucatnya.

Angin menerpa wajahnya. entah angin malam, atau memang ada yang membuatnya. Kapaknya entah kenapa lepas dari kontrolnya, tertarik menjauhinya dan mengayun ke arah yang berlawanan. Dan gawatnya, mengenai wajah seseorang yang sejak tadi ia rasakan. Darah segar mengalir dari pipi anak itu.

"Apa yang telah kulakukan? Anak sekecil itu kulukai. Payah... busuk..." batinnya menyesal. Kapaknya mengayun ke tembok gerbang depan rumahnya. Keras. Meninggalkan lubang retakan besar di dindingnya.
Riku kesal pada dirinya sendiri, benci. Memangnya dia apa? Hanya seorang manusia yang pada akhirnya adalah monster. Takdir. Hanya itulah yang terlintas dipikirannya ini. Takdirlah yang mengutuknya. Benar-benar sial...

"Maaf, kalau kamu marah dan kaget, laporkan saja aku ke polisi, atau FBI, atau apapun namanya itu. Aku tidak tahan lagi.. sudah muak.." katanya kepada anak itu, Riku mengalihkan wajahnya agar tidak melihat luka di pipi anak itu. Hasil kebusukannya.

-------

OOT: gemes w ma nih char satu ::

SRET!

Dalam sekejab Tsubasa sudah face to face dengan gadis itu, berlutut lemah di depannya, memeluknya --tidak erat, namun menentramkan -- dan berbisik pelan, hanya dua kata singkat.

"Jangan... Mati..."

Anak itu tidak menjawab. Apa ia memang berniat melaporkan Riku ke pihak yang berwenang? Kalau begitu, baguslah. Dunia akan menjadi lebih damai tanpanya.. Itu menurutnya.

Namun kenyataan tidak mengijinkan. Tiba-tiba anak itu sudah berada di depan Riku, membuatnya nyaris terjungkal.
"Apa-apa--!" nyaris saja ia mengayunkan kapaknya saat anak itu mendekatinya.
"Apa yang baru saja ingin kulakukan? Apa aku memang sekejam itu? Sebusuk itu hingga ingin melukai anak ini??"

Entah apa maksud anak itu. Dia memeluknya. Apa ia mengerti penderitaan yang dirasakan Riku? Tidak, tidak mungkin. Tapi wajahnya seperti menanggung banyak penderitaan seseorang. Siapa dia?

"Jangan... Mati..."

Jangan mati. Kata itulah yang ingin didengar Riku. Kata-kata yang berarti mengakui keberadaannya di dunia ini. Tapi sudah terlambat. "[i]Mungkin anak ini memang tidak waras... Setelah melihat sesuatu seperti ini.." batin Riku sambil melirik sedikit kapak-rambutnya.

Masih dalam pelukan anak itu, ia berkata, "apa hubungannya denganmu kalau aku hidup atau tidak?" Datar, tanpa sedikitpun harapan dalam nada bicaranya.

"apa hubungannya denganmu kalau aku hidup atau tidak?"

"Aku melihat ada keinginan untuk hidup di matamu. Jika kau punya keinginan untuk hidup, untuk apa mati? Aku tahu, kau hanya takut, kau dikucilkan karena kekuatanmu. Kau hanya takut sendirian, bukan?" tanya Tsubasa lemah.

"Aku melihat ada keinginan untuk hidup di matamu. Jika kau punya keinginan untuk hidup, untuk apa mati? Aku tahu, kau hanya takut, kau dikucilkan karena kekuatanmu. Kau hanya takut sendirian, bukan?"

"A-! Memangnya kamu tahu apa?" balasnya mulai histeris.
"Memangnya kamu tahu rasanya dibuang keluarga sendiri?! Dicaci maki oleh ibu yang melahirkanmu?! Memiliki saudara yang lebih hebat darimu sehingga dicap terburuk dalam keluarga?? Bahkan dicap monster hanya karena memiliki kekuatan seperti bibimu?!"
Apa anak itu main-main?

"A-! Memangnya kamu tahu apa?" balasnya mulai histeris.
"Memangnya kamu tahu rasanya dibuang keluarga sendiri?! Dicaci maki oleh ibu yang melahirkanmu?! Memiliki saudara yang lebih hebat darimu sehingga dicap terburuk dalam keluarga?? Bahkan dicap monster hanya karena memiliki kekuatan seperti bibimu?!"

"Aku ingin bertanya sebaliknya padamu. Apa kau tahu rasanya tak pernah bertemu keluarga aslimu? Apa kau tahu rasanya tak pernah mendapat kehangatan keluarga? kau beruntung pernah bersama orang tuamu. Sejak bayi aku dibuang, aku bahkan tak pernah bertatapan muka dengan ibu atau ayahku. Aku tak penah dipeluk kedua orang tuaku. Aku harus bertahan hidup di jalanan sendirian. Aku tak punya siapa-siapa sampai kakek baruku mengambilku. Saat aku bahagia memiliki sebuah keluarga, saat aku bisa merasakan kehangatan, semua dirampas. Kakak baruku terjangkit virus bunuh diri dan mati. Sejak saat itu Ayah baruku menjadi work-a-holic, ibu baruku merasa kurang diperhatikan sehingga suka mabuk dan pergi entah kemana, dan aku harus menyaksikan kakek baruku mati di hadapanku secara mengenaskan."

"Aku ingin bertanya sebaliknya padamu. Apa kau tahu rasanya tak pernah bertemu keluarga aslimu? Apa kau tahu rasanya tak pernah mendapat kehangatan keluarga? kau beruntung pernah bersama orang tuamu. Sejak bayi aku dibuang, aku bahkan tak pernah bertatapan muka dengan ibu atau ayahku. Aku tak penah dipeluk kedua orang tuaku. Aku harus bertahan hidup di jalanan sendirian. Aku tak punya siapa-siapa sampai kakek baruku mengambilku. Saat aku bahagia memiliki sebuah keluarga, saat aku bisa merasakan kehangatan, semua dirampas. Ayah baruku menjadi work-a-holic, ibu baruku merasa kurang diperhatikan sehingga suka mabuk dan pergi entah kemana, dan aku harus menyaksikan kakek baruku mati di hadapanku secara mengenaskan."

"..." Riku tidak dapat berkata apa-apa mendengar kata-kata anak itu. Dalam hatinya, ia menyesal karena merasa sial sendiri, sekaligus senang karena merasa punya teman yang senasib.

"Maaf.." katanya pelan.
"Apa kamu pernah dicap monster?"

"Apa kamu pernah dicap monster?"

"Hmh?" Tsubasa tampak berpikir.

---
FLASH BACK

"Dasar kau monster!"
"Penyihir jelek! Setan!!"
"Lebih baik orang sepertimu tidak ada di dunia!"
"MONSTER JELEK!"
"MATI AJA!!!"

Anak-anak itu menagtai-ngatai Tsubasa, menendangnya, melemparinya dengan batu. Tsubasa hanya meringkuk disitu, tanpa ada yang menyelamatkannya. Dia selalu sendirian.
---

Air muka Tsubasa tampak keruh sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Pernah."

"Pernah."

"..." sekali lagi Riku tidak bisa berkata apa-apa. Senasib. Itu saja yang ada dipikirannya.

Riku menghempaskan tubuhnya ke tembok (pagar) rumahnya. Kapaknya sudah menghilang sejak tadi, tapi ia tidak menyadarinya saking sedihnya. Sekilas, ia teringat bibinya yang sama dengannya, keras, tapi lebih memperhatikan dirinya daripada kedua orangtuanya.

Riku menghela nafas, mata coklatnya memandang kosong ke langit yang mendung, "seandainya saja bibi masih hidup.." ya, bibinya memang sudah meninggal akibat suatu kejadian. Riku sendiri tidak tahu persis peristiwa apa yang menimpa bibinya tersebut.

"seandainya saja bibi masih hidup.."

Tsubasa mendengar orang itu berkata lirih. Hanya terdiam, dia duduk di sebelah gadis itu, menyeka pipi pucatnya yang berdarah.

Tsubasa diam tanpa kata, memberikan ketenangan yang menyejukkan. Terkadang diam lebih baik daripada berkata dan bernasehat yang tidak-tidak.

"Ceritakan saja semua." ujarnya singkat.

"Ceritakan saja semua."

Riku bimbang. Haruskah ia menceritakan semuanya pada anak itu? Mereka kan baru ketemu, kenl saja belum. Lagipula, untuk apa memberitahukan hal yang 'private' seperti itu kepada orang lain yang walaupun Riku cap senasib tapi sama sekali belum kenal?

Riku menggeleng sedih. Matanya terpejam membayangkan saat-saat bibinya masih hidup bersama dengan Riku kecil dan membela Riku yang dicaci maki oleh saudara-saudara dan orang tuanya, kemudian menghiburnya dan dengan wajah kebingungan dan ragu, memberinya hadiah.

tes!

Air matanya sedikit menetes saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Air mata yang selama ini ditahannya akhirnya keluar juga.

Ibu yang dibencinya itulah yang prtama kali membawakan berita tentang kematian bibi kesayangannya itu. Alih-alih menangis, ibunya malah tertawa dan tersenyum sinis kepada Riku yang masih kecil.

"Ada apa, anak bodoh? Mana bibi tersayangmu itu? kok dia gak muncul lagi, ya?" Kalau tidak salah, itu yang selalu disebut-sebut ibunya untuk mengejek Riku dan mengingatkannya atas kematian bibinya, yang memang kenyataannya sudah tidak ada lagi di dunia.

Riku cepat-cepat mengelap air matanya yang sudah terlanjur mengalir itu, ia tidak ingin sisi lemahnya terlihat orang lain.
"Tidak, tidak ada yang penting.." jawabnya pelan.

"Tidak, tidak ada yang penting.."

"Begitukah? Lalu kenapa sorot matamu begitu pilu?" tanya Tsubasa.

Yahh, pada dasarnya Tsubasa berbakat psikolog dari lahir, walau dia kadang tidak peduli pada orang lain.

"Kalau tidak mau cerita juga tak apa," Tsubasa bangkit dari duduknya, membersihkan debu dari jeans buluknya itu.

"Begitukah? Lalu kenapa sorot matamu begitu pilu?" tanya Tsubasa

Anak itu.. bisa melihat ke dalam hati Riku, hebat juga dia.

"..." Tapi Riku bersikeras tidak mau menceritakannya, ia tetap diam tidak bergerak di posisinya.

"Kalau tidak mau cerita juga tak apa," Tsubasa bangkit dari duduknya, membersihkan debu dari jeans buluknya itu.

Anak itu bangkit dari tempatnya semula, seolah hendak meninggalkannya sendirian, "ah.. mau ke mana?" tanya Riku spontan.

!

Riku langsung menutup mulutnya. Apa yang terjadi dengannya sampai ia meminta anak itu untuk tidak pergi? Bodoh sekali, padahal tidak ada orang yang ingin tetap di sampingnya..

"Ah.. mau ke mana?" tanya Riku spontan.

"...." Tsubasa menoleh ke arah gadis itu. "Sudah kuduga, kau benar-benar takut sendirian, kan?" Tsubasa duduk lagi di samping gadis itu, tersenyum tipis.

"Ceritakan saja semuanya." ulangnya.

"Ceritakan saja semuanya." ulangnya.

"..." Riku tidak menjawab. Sepertinya ia masih ragu. Tapi kalau boleh jujur, anak itu adalah orang pertama yang bisa mengerti keadaan Riku, jadi mungkin tidak apa-apa kalau ia menceritakannya.

"Aku punya seorang bibi, orangnya keras, tapi baik dan hanya ia yang sayang padaku dan memperhatikanku kalau aku ditindas atau dicaci maki oleh orang lain," katanya agak lemas. Mungkin ini akan menjadi cerita yang panjang..

"Ia menghiburku, memberikanku hadiah, mengajariku pelajaran, menasihatiku.." Riku menghela nafas, mengingat-ingat kembali image bibinya saat itu.

"Tapi ia sudah meninggal. Aku tidak tahu apa sebabnya, mungkin karena ia memiliki kekuatan sepertiku, ia dibunuh,"

Spoiler:

"Hoo... Begitu ya..." Tsubasa bergumam pelan. "Aku jadi teringat seseorang..."

===

Flashback.

"Hei, bocah!" wanita tinggi berambut raven hitam itu mengacak-acak rambut Tsubasa.
"Pagi, Nami-san..." ujar Tsubasa ceria, tersenyum tipis.
"Ikut kakek lagi?" dia menekankan kata kakek sambil melirik jail ke arah Taisuke.
"Iya!" jawab Tsubasa semangat.

Gadis inilah sosok pengganti figur 'ibu' atau 'nenek' dalam hidup Tsubasa, karena 'ibu' Tsubasa begitu dingin, Tsubasa merasakan kehangatan tersendiri dari sosok seorang Nami.

Sampai suatu hari...

"Taisuke, cepat pergi dari sini! Bawa Tsubasa!"

Mereka terjebak dalam suatu pertarungan. Taisuke menolak untuk pergi dan menyuruh Sebastian membawa Tsubasa. Setelah berhari-hari, datanglah kabar bahwa mereka meninggal.

===

"Nami-san... Kakek..." ujar Tsubasa lirih.

"Nami-san... Kakek..." ujar Tsubasa lirih.

Anak itu juga terdiam selama beberapa saat setelah mendengarkan penjelasan Riku, tapi Riku mendengarnya bergumam. Anak itu menyebut nama yang sangat familiar di telinganya

"Nami? Itu nama bibiku..." balasnya spontan, agak kaget karena anak yang baru saja dikenalnya itu tiba-tiba menyebutkan nama orang yang bersangkutan.

Sebenarnya bukan bibi langsung, karena ibunya itu merupakan adik sepupu dari bibi yang sangat disayanginya itu. Dan entah mengapa mereka menjadi dekat.

"Nami? Itu nama bibiku..."

"Benarkah...? Kusunoki Nami?" tanya Tsubasa tak percaya. "Apakah ini orang yang kau maksud?" tanyanya lagi, menyodorkan foto dari dompetnya. Foto Taisuke, Nami, Yuuta dan aoi sedang tersenyum manis, dengan Tsubasa yang bertengger di pundak Taisuke.

"Benarkah...? Kusunoki Nami?" tanya Tsubasa tak percaya.

Sekarang anak itu malah menyebut nama lengkap bibinya itu, Kusunoki Nami,
"iya, kok kamu tahu?" tanya Riku agak tidak percaya. Apa anak itu hanya asal menebak?

"Apakah ini orang yang kau maksud?"

Bukti yang jelas, sekarang anak itu malah menyodorkan sebuah foto, di mana bibinya sedang tersenyum tipis seperti biasa di situ.

SRET!

Riku merebut foto itu darinya, setes air mata keluar dari mata coklatnya, mengalir deras di pipinya yang putih.
"Hiks.. Bibi..." isaknya pelan. Sudah lama sekali ia tidak melihat bibinya tersenyum seperti itu. Mungkin ia sudah berada di atas sana bersama teman-temannya di foto ini.

"Hiks.. Bibi..."

Gadis itu mengambil foto itu dari tangan Tsubasa, lalu mulai menangis. Tsubasa mengangkat tangan kecilnya, mengahpus air mata yang terjatuh dari mata cantik gadis itu.

"Jangan menangis..."

"Jangan menangis..."


Tidak bisa, air mata sudah terlanjur keluar dari matanya. Memang Riku kalau sudah menangis susah dihentikan.
Ia mengeluarkan sebuah figuran kecil berbentuk burung yang terbuat dari plastik dari dalam saku roknya.
Riku terus menggenggang burung itu keras-keras sampai tangannya terluka akibat tajamnya sayap burung tersebut dan karena benda tersebut dimakan usia.

==

OOT: yang di kasih Satoru, burung kan bntuknya? @_@